Pengalaman
menunjukkan, kebijakan suku bunga tinggi akan membawa Indonesia ke lembah
krisis. Tahun 1997/1998 BI menerapkan kebijakan suku bunga tinggi hingga money
market sampai dengan 70% untuk meredam inflasi. Efeknya kurang mendorong
pertumbuhan ekonomi dan justru terjadi kontraksi yang cepat dan besar. Dampak
yang berat dari kebijakan tersebut ialah banyak dunia usaha yang hancur (kredit
menjadi puso atau macet). Nilai tukar rupiah menyala sampai dengan di atas
Rp15.000 per US$1. Bank-bank masuk jurang dengan kelojotan likuiditas yang
kering. Akhirnya bank-bank masuk perawatan dan tidak sedikit yang menjadi
almarhum. Pemerintah Indonesia pun mem-bailout bank-bank
sampai dengan Rp650 triliun.
Tahun 2005 dan 2008
pola yang sama kembali dianut, kendati agak berbeda efeknya. Pada 2005 kenaikan
harga BBM yang tajam juga mengerek suku bunga dan tak berbeda pada 2008.
Kebijakan menaikkan suku bunga ini justru membuat situasi pasar mencari
keseimbangan baru yang bukan berarti tidak menelan korban. Namun, kebijakan
yang diambil pemerintah (BI) pada 2008 relatif berhasil karena krisis tidak
sampai melumatkan ekonomi Indonesia, hanya menekan pertumbuhan ekonomi menjadi
di kisaran 4,1%. Kebijakan bailout terhadap Bank Century yang dilakukan
pemerintah dengan mekanisme asuransi (bukan APBN seperti 1998) bisa jadi ikut
berperan dalam menahan krisis perbankan.
Jika suku bunga naik,
hastrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan
berkurang, begitu pula hasrat untuk investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi
(C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Di sisi lain dengan suku bunga
yang lebih tinggi BI ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas
dolar AS karena akan banyak pemilik dolar AS konversi ke rupiah dengan bunga
bank yang lebih tinggi hingga di akhir akan menguatkan kembali nilai tukar
rupiah.
Dalam
keadaan ini Pemerintah melakukan tindakan kebijakan Moneter untuk
mengantisipasi terjadinya inflasi akibat terjadinya kenaikan suku bunga salah
satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan moneter. Kebijakan moneter
adalah proses di mana pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter suatu
negara kontrol suplai uang, ketersediaan uang, dan biaya uang atau suku bunga
untuk mencapai menetapkan tujuan berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas
ekonomi.
Kebijakan Moneter
bertumpu pada hubungan antara tingkat bunga dalam suatu perekonomian, yaitu
harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan pasokan total uang. Kebijakan
moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk
mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dengan
mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah di bawah monopoli
penerbitan, atau dimana ada sistem diatur menerbitkan mata uang melalui
bank-bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter memiliki kemampuan
untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi tingkat
suku bunga (untuk mencapai kebijakan gol).
Kebijakan moneter akan
mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga, dan pasar uang dan surat
berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat bunga, dan tingkat bunga
akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal akan mempunyai pengaruh
terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada giliranya permintaan dan
penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar barang dan jasa. Kondisi
di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat harga dan kesempatan kerja
akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah yang di harapkan. Keduanya
akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan memberikan umpan balik terhadap
permintaan agregat dan upah harapan mempunyai umpan balik terhadap penawaran
agregat dan pasar uang serta pasar surat berharga.
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan
instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank
Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen
suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu
menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat
gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek
ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat,
akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah
menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.
Kedua, Bank
Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang
sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu
dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di
negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem
keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan
ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya
kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif
haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam
pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus
dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan
disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu,
upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan
dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan.
Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank
Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana
implementasi Basel II.
Ketiga, Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu
peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang
cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut
dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga
menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan
mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang
cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran
yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross
Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem
pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi
dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui
fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses
informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui
pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan
sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak
pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat
mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi
kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya
akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia
memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank
sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran
tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna
menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR
mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini
hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi
memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi
LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer
namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan
fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral
hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang
ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.
Indikator Pengukuran Stabilitas Sistem
Keuangan
Indikator microprudential (Agregat)
|
Indikator makroekonomi
|
Kecukupan modal
|
Pertumbuhan ekonomi
|
§ Rasio modal agregat
|
§ Tingkat pertumbuhan
agregat
|
Kualitas Aset
|
§ Sektor ekonomi yang
jatuh
|
- Bagi Kreditur
|
BOP
|
§ Konsentrasi kredit
secara sektoral
|
§ Defisit neraca
berjalan
|
§ Pinjaman dalam mata
uang asing
|
§ Kecukupan cadangan
devisa
|
§ Pinjaman terhadap
pihak terkait, kredit macet (NPL) dan pencadangannya
|
§ Pinjaman luar
negeri (termasuk struktur jangka waktu)
|
- Bagi Debitur
|
§ Term of trade
|
§ DER (rasio hutang
thd modal), laba perusahaan
|
§ Komposisi dan
jangka waktu aliran modal
|
Manajemen Sistem Keuangan yang Sehat
|
Inflasi
|
§ Pertumbuhan jumlah
lembaga keuangan, dan lain-lain
|
§ Volatilitas inflasi
|
Pendapatan dan Keuntungan
|
Suku Bunga dan Nilai Tukar
|
§ ROA, ROE, dan rasio
beban terhadap pendapatan
|
§ Volatilitas suku
bunga dan nilai tukar
|
Likuiditas
|
§ Tingkat suku bunga
domestik
|
§ Kredit bank sentral
kpd Lemb.Keu, LDR, struktur jangka waktu aset dan kewajiban
|
§ Stabilitas nilai
tukar yang berkelanjutan
|
Sensitivitas terhadap risiko pasar
|
§ Jaminan nilai tukar
|
§ Risiko nilai tukar,
suku bunga dan harga saham
|
Efek menular
|
Indikator berbasis pasar
|
§ Trade spillover
|
§ Harga pasar
instrumen keuangan, peringkat kredit, sovereign yield spread, dll.
|
§ Korelasi pasar
keuangan
|
Faktor-faktor lain
|
|
§ Investasi dan
pemberian pinjaman yang terarah
|
|
§ Dana pemerintah
pada sistem perbankan
|
|
§ Hutang jatuh tempo
|
Link