Sabtu, 07 Juni 2014

PEMERINTAH DALAM MENGATASI MASALAH SUKU BUNGA PERBANKAN (artikel 2)



Pengalaman menunjukkan, kebijakan suku bunga tinggi akan membawa Indonesia ke lembah krisis. Tahun 1997/1998 BI menerapkan kebijakan suku bunga tinggi hingga money market sampai dengan 70% untuk meredam inflasi. Efeknya kurang mendorong pertumbuhan ekonomi dan justru terjadi kontraksi yang cepat dan besar. Dampak yang berat dari kebijakan tersebut ialah banyak dunia usaha yang hancur (kredit menjadi puso atau macet). Nilai tukar rupiah menyala sampai dengan di atas Rp15.000 per US$1. Bank-bank masuk jurang dengan kelojotan likuiditas yang kering. Akhirnya bank-bank masuk perawatan dan tidak sedikit yang menjadi almarhum. Pemerintah Indonesia pun mem-bailout bank-bank sampai dengan Rp650 triliun.
Tahun 2005 dan 2008 pola yang sama kembali dianut, kendati agak berbeda efeknya. Pada 2005 kenaikan harga BBM yang tajam juga mengerek suku bunga dan tak berbeda pada 2008. Kebijakan menaikkan suku bunga ini justru membuat situasi pasar mencari keseimbangan baru yang bukan berarti tidak menelan korban. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah (BI) pada 2008 relatif berhasil karena krisis tidak sampai melumatkan ekonomi Indonesia, hanya menekan pertumbuhan ekonomi menjadi di kisaran 4,1%. Kebijakan bailout terhadap Bank Century yang dilakukan pemerintah dengan mekanisme asuransi (bukan APBN seperti 1998) bisa jadi ikut berperan dalam menahan krisis perbankan.
Jika suku bunga naik, hastrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan berkurang, begitu pula hasrat untuk investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Di sisi lain dengan suku bunga yang lebih tinggi BI ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dolar AS karena akan banyak pemilik dolar AS konversi ke rupiah dengan bunga bank yang lebih tinggi hingga di akhir akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah.
            Dalam keadaan ini Pemerintah melakukan tindakan kebijakan Moneter untuk mengantisipasi terjadinya inflasi akibat terjadinya kenaikan suku bunga salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan moneter. Kebijakan moneter adalah proses di mana pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter suatu negara kontrol suplai uang, ketersediaan uang, dan biaya uang atau suku bunga untuk mencapai menetapkan tujuan berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Kebijakan Moneter bertumpu pada hubungan antara tingkat bunga dalam suatu perekonomian, yaitu harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan pasokan total uang. Kebijakan moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dengan mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah di bawah monopoli penerbitan, atau dimana ada sistem diatur menerbitkan mata uang melalui bank-bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter memiliki kemampuan untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi tingkat suku bunga (untuk mencapai kebijakan gol).
Kebijakan moneter akan mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga, dan pasar uang dan surat berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat bunga, dan tingkat bunga akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal akan mempunyai pengaruh terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada giliranya permintaan dan penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar barang dan jasa. Kondisi di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat harga dan kesempatan kerja akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah yang di harapkan. Keduanya akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan memberikan umpan balik terhadap permintaan agregat dan upah harapan mempunyai umpan balik terhadap penawaran agregat dan pasar uang serta pasar surat berharga.
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.
Indikator Pengukuran Stabilitas Sistem Keuangan
Indikator microprudential (​Agregat)
Indikator makroekonomi
Kecukupan modal
Pertumbuhan ekonomi
§   Rasio modal agregat
§   Tingkat pertumbuhan agregat
Kualitas Aset
§   Sektor ekonomi yang jatuh
- Bagi Kreditur
BOP
§   Konsentrasi kredit secara sektoral
§   Defisit neraca berjalan
§   Pinjaman dalam mata uang asing
§   Kecukupan cadangan devisa
§   Pinjaman terhadap pihak terkait, kredit macet (NPL) dan pencadangannya
§   Pinjaman luar negeri (termasuk struktur jangka waktu)
- Bagi Debitur
§   Term of trade
§   DER (rasio hutang thd modal), laba perusahaan
§   Komposisi dan jangka waktu aliran modal
Manajemen Sistem Keuangan yang Sehat
Inflasi
§   Pertumbuhan jumlah lembaga keuangan, dan lain-lain
§   Volatilitas inflasi
Pendapatan dan Keuntungan
Suku Bunga dan Nilai Tukar
§   ROA, ROE, dan rasio beban terhadap pendapatan
§   Volatilitas suku bunga dan nilai tukar
Likuiditas
§   Tingkat suku bunga domestik
§   Kredit bank sentral kpd Lemb.Keu, LDR, struktur jangka waktu aset dan kewajiban
§   Stabilitas nilai tukar yang berkelanjutan
Sensitivitas terhadap risiko pasar
§   Jaminan nilai tukar
§   Risiko nilai tukar, suku bunga dan harga saham
Efek menular
Indikator berbasis pasar
§   Trade spillover
§   Harga pasar instrumen keuangan, peringkat kredit, sovereign yield spread, dll.
§   Korelasi pasar keuangan

Faktor-faktor lain

§   Investasi dan pemberian pinjaman yang terarah

§   Dana pemerintah pada sistem perbankan

§   Hutang jatuh tempo

Link
http://www.ojk.go.id/peran-bi



PEMERINTAH DALAM MENGATASI MASALAH SUKU BUNGA PERBANKAN (artikel 1)




Suku bunga akan memberikan dampak pada ;


Suku bunga deposito dan kredit yang disalurkan, harga asset, nilai tukar dan ekspektasi inflasi. Suku bunga deposito dan kredit yang disalurkan dan harga asset akan berpengaruh terhadap konsumsi dan investasi dalam ekonomi. Sedangkan nilai tukar akan mempengaruhi ekspor. Konsumsi, investasi dan ekspor merupakan variabel dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak didukung dengan likuiditas perbankan yang dapat menompang perekonomian, bahkan suku bunga yang tinggi dan defisit yang membesar berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi kemiskinan. Salah satunya praktek kartel, implikasinya terlihat dari struktur pasar yang bersifat oligopoly, dua aspek ini disebut kapitalisme perbankan. Kebijakan perbankan dengan suku bunga yang tinggi perlu dilakukan agar dunia usaha (sektor rill) dapat bergerak. Minimnya likuiditas yang akan dirasakan di sektor rill dalam beberapa tahun kedepan akibat imbasnya dari global economic crisis memerlukan langkah komprehensif dari dunia perbankan dalam meningkatkan kredit yang harus segera dilakukan agar pertumbuhan ekonomi dapat dijaga dan penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan baik.
Beberapa kontenks dalam menciptakan suku bunga dan kebijakan moneter yang pro terhadap penganggulan kemiskinan diperlukan kebijakan sebagai berikut :

a.  Bank Indonesia harus segera melakukan kebijakan moneter akomodatif melalui kebijakan suku bunga rendah.
Krisis global masih akan dirasakan oleh indonesia, malahan rambatannya semakin kuat dirasakan buktinya neraca pembayaran terus mengalami defisit. Kondisi fiscal juga tidak kuat sehingga kebijakan moneter akomodatif perlu dilakukan seperti yang dilakukan oleh negara maju saat ini. Tujuannya agar likuiditas dapat dijaga sehingga dapat menyokong pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan berdampak pada kemiskinan.
b. Kebijakan financial inclusion dengan mendorong intermediasi perbankan pada kelompok UMKM dan masyarakat miskin.
Saat ini akses UMKM dan masyarakat miskin masih sangat rendah terhadap perbankan. Pelaku usaha perbankan juga masih memarginalkan kelompok ini. Perbankan cenderung berupaya pada peningkatkan profit tanpa berorientasi pada pemerataan akses yang cenderung meningkatkan biaya operasional. Disinilah peranan bank indonesia dan otoritas jasa keuangan (OJK) agar mendorong perbankan untuk menyediakan layanan-layanan produk perbankan yang pro pada UMKM dan masyarakat miskin.
c.    Perlu ada regulasi agar dunia perbankan menurunkan tingkat suku bunga kredit.
Bank Indonesia dan OJK perlu tegas untuk menciptakan aturan bagi penetapan suku bunga kredit. Ini titik poin dalam upaya mendorong investasi di indonesia. Terjadinya praktek oligopoli yang mengarah pada kartel usaha merupakan penyebab terjadinya tingkat suku bunga tinggi. Ini merupakan tugas OJK nantinya dalam melakukan pengawasan terhadap perbankan.
d.   Mendorong penguat kredit di sektor pertanian terutama pada kelompok usaha mikro pertanian.
Kantong-kantong kemiskinan berada di sektor pertanian. Kesulitan petani berada pada di persoalan permodalan. Untuk itu pemerintah perlu memperkuat aturan mengenai KUR agar distribusinya jatuh pada kelompok petani. Dengan disahkannya Undang-Undang No.1 Tahun 2013 menyatakan bahwa “Lembaga keuangan Mikro (LKM) merupakan solusi dalam rangka mengatasi rndahnya akses masyarakat kecil terhadap lembaga keuangan”.


Artikel :